Melalui Coretan Pena Kartini, Harapan Perempuan Tersulam Abadi

Dalam senyap zaman kolonial, ketika suara perempuan dibungkam dan langkahnya dibatasi oleh adat serta aturan, seorang gadis muda dari Jepara menyalakan lentera kecil yang sinarnya tak pernah padam. Namanya Raden Ajeng Kartini.

Sumber: Pinterest @/Palloma Kuta

Lahir pada 21 April 1879 di Jepara, dalam keluarga bangsawan Jawa, Kartini tumbuh dibalut tradisi pingitan—masa sepi menjelang hari pernikahan, saat perempuan dipingit di sudut rumah, terpisah dari hiruk-pikuk dunia luar. Di balik pintu kayu coklat, ia merajut mimpi-mimpi besar, kebebasan berpikir, hak untuk belajar, dan kesetaraan.

Kartini muda haus akan ilmu. Ketika sekolah formal tak lagi bisa ia tempuh karena adat, ia tetap belajar secara mandiri. Ia membaca buku-buku berbahasa Belanda, mempelajari filsafat, sastra, dan pemikiran modern Eropa. Lewat surat-suratnya kepada sahabat pena asal Belanda, Rosa Abendanon, Kartini mengungkapkan isi hatinya mengenai kekecewaan terhadap ketidakadilan, kerinduan akan kebebasan, dan keyakinan bahwa perempuan pun berhak untuk maju.

“Saya ingin sekali melihat perempuan Indonesia tidak hanya menjadi pelengkap, tetapi menjadi subjek yang aktif dalam masyarakatnya. Pendidikan adalah kunci.” tulisnya dalam salah satu suratnya yang kini abadi dalam buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Sumber: Pinterest @/KuasaKataCom

Buku tersebut menjadi monumen intelektual Kartini—sebuah catatan hidup yang lebih dari sekadar kumpulan surat. Ia adalah suara yang melampaui waktu, memekikkan perlawanan di tengah diamnya zaman.

Meski wafat di usianya yang hanya 25 tahun, Kartini telah mengubah arah sejarah. Ia membuka jalan bagi pendidikan perempuan, mendorong berdirinya sekolah-sekolah bagi kaum hawa, dan membangkitkan kesadaran bahwa perempuan bukan makhluk nomor dua. Perjuangannya melampaui sekat ruang dan waktu, membentuk dasar gerakan emansipasi perempuan Indonesia.

Presiden Soekarno pun mengabadikan perjuangannya dengan menetapkan 21 April sebagai Hari Kartini pada tahun 1964—sebuah pengakuan negara atas jasa seorang perempuan muda yang keberaniannya melampaui zaman.

Hari ini, sosok Kartini hidup dalam setiap perempuan yang berani menuntut ilmu, memimpin organisasi, menciptakan karya, mengambil keputusan, dan berdiri tegak atas namanya sendiri. Semangat Kartini adalah semangat perubahan yang lahir dari pemikiran, diperjuangkan dengan hati, dan diwariskan antargenerasi.

“Tiada awan di langit yang tetap selamanya. Tiada mungkin akan terus-menerus terang cuaca. Sehabis malam gelap gulita lahirlah pagi membawa keindahan. Begitu juga nasib manusia. Sekarang sengsara, tetapi kelak akan bahagia.”

Begitulah Kartini menuliskan harapannya. Dari balik sekat adat, ia melihat cahaya masa depan. Kini, tugas kita bukan hanya mengenangnya, melainkan melanjutkan langkahnya, agar terang yang ia nyalakan terus menyinari negeri ini.

Penulis: Angeli Ramadhani

Editor: Muthia Zahra