Baru-baru ini Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mut’i, mengumumkan hal penting dalam rapat Koordinasi Evaluasi Kebijakan Pendidikan Dasar dan Menengah di Jakarta pada Senin (11/11/2024), yakni rencana penerapan Artificial Intelligence (AI) dan coding atau sistem pemrograman sebagai mata pelajaran baru bagi anak Sekolah Dasar (SD). Hal tersebut menimbulkan tanggapan dari berbagai kalangan, salah satunya Akademisi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta).
Saat diwawancarai melalui WhatsApp, Ketua Program Studi (Kaprodi) Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), Rina Yuliana, berpendapat langkah tersebut merupakan terobosan baru yang menarik dan harus didukung.
Baru-baru ini Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mut’i, mengumumkan hal penting dalam rapat Koordinasi Evaluasi Kebijakan Pendidikan Dasar dan Menengah di Jakarta pada Senin (11/11/2024), yakni rencana penerapan Artificial Intelligence (AI) dan coding atau sistem pemrograman sebagai mata pelajaran baru bagi anak Sekolah Dasar (SD).
Hal tersebut menimbulkan tanggapan dari berbagai kalangan, salah satunya Akademisi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), tepatnya Ketua Program Studi (Kaprodi) Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), Rina Yuliana. Saat diwawancarai melalui WhatsApp, ia berpendapat langkah tersebut merupakan terobosan baru yang menarik dan harus didukung.
“Penerapan mata pelajaran coding dan AI menarik. Dan saya optimis bahwa pemerintah pasti tidak akan memberikan pengajaran langsung dari tingkat atas melainkan dari tingkat dasar. Kita perlu mendukung gagasan pemerintah, sehingga anak-anak jangan hanya sebatas konsumen teknologi saja tapi bagaimana mereka menjadi produsen,” ujar Rina pada Sabtu (14/12/2024).
Selain itu, ia juga setuju dengan gagasan pemerintah tersebut, tetapi dengan beberapa catatan.
“Saya setuju terkait penerapan ini, dengan beberapa catatan yaitu di tingkat SD coding dan AI disesuaikan dengan perkembangan kognitif anak dan ada alternatif bagi sekolah yang tidak memilih penerapan coding dan AI agar kesenjangan yang terjadi tidak terlalu runcing,” tambahnya.
Di sisi lain, menurutnya ada potensi terjadinya kesenjangan pendidikan akibat penerapan coding dan AI karena prasarana sekolah yang belum sepenuhnya siap.
“Sejauh yang saya baca, bahwa coding dan AI tidak akan diterapkan pada seluruh sekolah. Hanya untuk sekolah yang sudah siap dalam sarana dan prasarananya seperti laptop dan jaringan internet. Sehingga hal ini akan menghadirkan kesenjangan dimana ada peserta didik yang lebih piawai dibandingkan dengan sekolah yang tidak menerapkan coding dan AI,” lanjutnya.
Tidak lupa dengan dampak yang ditimbulkan terkait kesenjangan antar sekolah, Rina berharap pemerintah memberikan solusi untuk sekolah yang belum mampu mengadopsi pembelajaran AI dan coding.
“Dampak yang akan terasa adalah kesenjangan antara sekolah yang memilih dan tidak memilih penerapan coding dan AI. Karena anak-anak di sekolah pedalaman untuk mendapatkan listrik saja sulit, jadi tidak mungkin mereka memilih menerapkan AI dan coding. Maka pemerintah perlu memberikan solusi untuk sekolah yang tidak menerapkan AI dan coding,” ujarnya.
Terakhir, ia memberikan alternatif yang menurutnya harus diupayakan oleh pemerintah, seperti menyediakan guru khusus yang piawai dalam coding dan AI atau memberikan pelatihan kepada guru-guru Sekolah Dasar.
“Saya punya dua alternatif, pertama menyediakan guru khusus yang berlatar belakang teknologi pembelajaran, artinya guru tersebut paham tentang teknologi dan juga pedagogic. Kedua, guru-guru yang ada perlu mendapatkan diklat terstruktur terkait coding dan AI, sehingga tidak perlu ada recruitment guru khusus yang piawai dibidang teknologi,” ucapnya sebagai penutup wawancara.