Grup percakapan daring kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mahasiswa, mulai dari berbagi informasi kuliah, hingga sekadar bercanda lepas. Namun, di balik notifikasi yang tak henti muncul, tidak semua anggota grup ikut serta dalam percakapan. Ada yang memilih diam, hanya membaca tanpa membalas atau menyampaikan pendapat. Mereka disebut sebagai silent reader, hadir tapi tak bersuara. Fenomena ini bukan hanya kebiasaan sepele, melainkan mencerminkan dinamika komunikasi yang kompleks dalam kelompok.
Keaktifan mahasiswa dalam grup percakapan daring tidak selalu mencerminkan komunikasi yang seimbang. Banyak anggota grup yang hadir secara digital, tetapi tidak ikut berdiskusi. Mereka memilih untuk diam dan hanya menyimak percakapan yang terjadi. Diam mereka bukan tanpa alasan, ada yang merasa tidak perlu merespons, ada pula yang enggan terlibat karena tidak merasa memiliki kepentingan.
Diam dalam percakapan kelompok tidak selalu berarti pasif sepenuhnya. Menurut Remedios dkk, dalam The Silent Participant in Small Group Collaborative Learning Contexts, silent reader dijadikan sebagai bentuk kontrol diri atau strategi untuk mengamati. Namun, partisipasi yang terbatas ini bisa berdampak pada kohesi dan efektivitas komunikasi. Tanpa umpan balik, informasi menjadi satu arah. Diskusi mandek, dan rasa kepemilikan terhadap kelompok pun melemah.
Dalam komunikasi kelompok, kehadiran peserta pasif menciptakan ketimpangan. Ketika sebagian anggota menunjukan keengganan berbicara di dalam suatu diskusi kelompok, maka diskusi tidak bisa berjalan dengan baik. Kemunculan silent reader sendiri bisa dipicu oleh berbagai faktor, seperti rasa tidak percaya diri, takut salah, tekanan sosial, atau hambatan bahasa. Meski demikian, mereka tetap menyimak isi percakapan dan memahami konteks, hanya saja memilih untuk tidak bersuara.
Dalam grup percakapan mahasiswa, silent reader bisa berdampak ganda. Menurut Dewi dkk dalam penelitiannya yang berjudul Fenomena Silent Reader Dalam Grup WhatsApp (Studi Fenomenologi Pada Barista Kopi Kenangan Karawang), mereka membuat dinamika diskusi kurang hidup. Di sisi lain, mereka tetap menjadi bagian dari jaringan komunikasi yang menyimak dan mencatat. Namun, jika terlalu banyak anggota yang pasif, maka arus komunikasi bisa tersendat.
Untuk menciptakan komunikasi yang lebih terbuka, kelompok perlu memberi ruang bagi semua anggota. Tidak semua orang nyaman menyampaikan pendapat secara langsung. Maka, alternatif seperti emoji, voting, atau fitur tanggapan singkat, bisa menjadi solusi. Memberikan waktu jeda sebelum menanggapi, juga dapat membantu mereka yang membutuhkan waktu berpikir lebih lama. Di samping itu, silent reader bukanlah kebiasaan yang dapat dibiarkan. Oleh karena itu, penting bagi komunitas akademik untuk menumbuhkan budaya diskusi yang menghargai semua bentuk partisipasi. Maka dari itu, mahasiswa harus menaikan partisipasinya dalam proses belajar, dan berpikir bahwa menyuarakan pendapat bukan suatu yang memalukan.
Silent reader bukan sekadar individu yang pasif dalam percakapan. Mereka adalah cermin dari dinamika sosial yang kompleks, yang mana diam bisa bermakna banyak hal. Dinamika silent sendiri bisa dikurangi dengan berbagai cara alternatif seperti fitur tanggapan singkat, voting, ataupun emoji. Sebagai komunikan, alangkah baiknya jika kita memberikan reaksi atau umpan balik kepada komunikator, agar semua pihak merasa nyaman dan dihargai.
Sumber:
Dewi, G. K., Ramdhani, M., & Arindawati, W. A. (2021). Fenomena Silent Reader Dalam Grup WhatsApp (Studi Fenomenologi Pada Barista Kopi Kenangan Karawang).
Remedios, L., Clarke, D., & Hawthorne, L. (2008). The Silent Participant in Small Group Collaborative Learning Contexts. Active Learning in Higher Education.
Sedova, K., & Navratilova, J. (2020). Silent students and the patterns of their participation in classroom talk. Teaching and Teacher Education.
Penulis: Nadira Zahra Alifa
Editor: Muthia Zahra