Dalam kehidupan sehari-hari, perilaku seksisme kerap dijumpai di berbagai situasi. Seksisme merupakan bentuk prasangka, stereotip, atau diskriminasi yang dapat dialami oleh perempuan maupun laki-laki. Namun, sasaran dari tindakan seksisme umumnya ditujukan kepada perempuan.
Perilaku seksisme tercermin dalam pemberitaan di media yang mana perempuan sering kali digambarkan dalam peran terbatas dan stereotip, seperti pengasuh, model, atau korban, dengan fokus pada penampilan, pakaian, usia, dan status hubungan mereka. Sebaliknya, laki-laki cenderung lebih sering dirujuk dalam konteks ide, pengalaman, dan profesi mereka. Hal ini menunjukkan dominasi stereotip gender yang masih sangat kuat, dengan hanya 4% berita yang berusaha menentang stereotip tersebut.
Pernyataan seksisme terhadap perempuan juga dilakukan oleh Achmad Dimyati Natakusumah saat debat perdana Pilkada, 16 Oktober 2024. Secara tidak langsung pernyataan seksisme itu ditujukan kepada Airin yang pada saat itu mencalonkan diri menjadi gubernur Banten.
“Perempuan itu harus mendapat perhatian, maka kita harus melindungi perempuan dan memuliakannya dengan enggak ngasih beban berat jadi gubernur,” ucap Dimyati kala debat Pilkada.
Tidak hanya Achmad Dimyati yang melontarkan pernyataan seksisme, tetapi pernyataan serupa juga datang dari tokoh-tokoh Indonesia lainnya, seperti Ridwan Kamil dan Suswono di DKJ. Pernyataan seksisme tersebut kemudian menjadi viral di berbagai platform media dan menuai kritik dari para aktor advokasi isu perempuan, seperti aktivis perempuan, organisasi perempuan, media yang fokus pada isu perempuan, hingga Komnas Perempuan.
Di sisi lain, media konvensional dan media sosial yang membahas isu seksisme Dimyati masih ada yang cenderung memberikan dukungan secara tidak langsung, meskipun beberapa juga menyajikan narasi yang berlawanan. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada kesenjangan pemahaman tentang pentingnya perspektif kesetaraan gender di kalangan pelaku media. Oleh karena itu, kesadaran untuk memahami dan menghindari seksisme menjadi hal yang sangat penting bagi semua yang bekerja di dunia media, agar pemberitaan yang disajikan dapat lebih adil dan mendukung terciptanya kesetaraan.
Untuk itu, Tim Media Brief Literasi Pemuda Indonesia (LPI) menyelenggarakan media brief dan capacity building bagi para jurnalis sebagai upaya memberikan wawasan dan keterampilan dalam meliput isu kesetaraan gender. Hal ini dilakukan untuk menghindari para jurnalis untuk menciptakan berita atau informasi yang bias gender.
Literasi Pemuda Indonesia (LPI) mengadakan acara media brief dan capacity building bertajuk ‘Seksisme dalam Pilkada Banten, Bagaimana Peran Produsen Informasi Memutus Rantainya?’ media brief dan capacity building ini digelar di Hotel Santika Premiere ICE BSD City, Kabupaten Tangerang, Banten, pada Rabu, 22 Desember 2024. Materi pertama disampaikan oleh Tim Media Brief LPI, Purnama Ayu Rizky memaparkan isu seksisme Dimyati yang hangat diperbincangkan oleh media.
Tim Media Sosial Monitoring Literasi Pemuda Indonesia (LPI) mencatat bahwa sedikitnya terdapat 69 media online yang memberitakan pernyataan seksis dari Dimyati tersebut.
“Rendahnya kesadaran isu gender dalam politik. Ini bisa dilihat dari cara memilih masyarakat Banten yang cenderung lebih mengingat kebijakan-kebijakan strategis dan praktis, seperti program BLT dsb,” jelas perempuan yang juga aktif sebagai jurnalis Magdalene tersebut.
“Dimyati masih didukung mesin politik yang kuat, seperti di-endorse oleh Ketua Umum Gerindra yang juga merupakan Presiden Indonesia, Prabowo Subianto. Lalu rendahnya aktivisme gender di Banten,” kata Ayu menambahkan.
Lalu materi kedua yaitu media brief dan capacity building disampaikan oleh Direktur Ekseskutif PPMN, Fransisca Ria Susanti. Media dapat memberikan informasi agar dapat menyadarkan masyarakat untuk lebih peka terhadap isu gender. Pernyataan seksisme yang dilontarkan oleh politisi atau siapapun itu tidak boleh dinormalisasikan karena setiap gender memiliki hak yang sama.
Menurut Fransisca, ketidaksetaraan gender dalam konten media dapat terjadi karena kurangnya representasi perempuan di dalam industri media. Ketika perempuan ditampilkan di media, mereka sering kali digambarkan dalam peran yang terbatas dan stereotip seperti pengasuh, model, atau korban.
Sikap jurnalis dalam menghadapi isu seksisme ini haruslah berpegang pada tiang keadilan. Keadilan harus diciptakan sejak dari dalam pikiran. Media memiliki kekuatan yang cukup besar untuk menentang adanya ketidaksetaraan gender dengan menyajikan representasi gender yang lebih seimbang, inklusif, dan beragam, sehingga dapat mendukung terciptanya masyarakat yang lebih adil.
Kontribusi media dan jurnalis juga dapat dilakukan dengan menyusun laporan yang memperhatikan aspek gender dengan berbagai cara, seperti memilih sumber dan cerita yang inklusif, menghilangkan stereotip gender, menggunakan bahasa yang sensitif gender, serta meliput isu kesetaraan gender. Pendekatan pelaporan yang sensitif terhadap gender harus dipandang sebagai prinsip utama dalam produksi media profesional, sejajar dengan nilai akurasi dan keseimbangan.
Penulis: Content writer hard news
Editor: Nadya Bella