Kekerasan terhadap jurnalis perempuan di Indonesia bukan lagi sekadar ancaman, ini sudah menjadi teror yang nyata. Dalam beberapa bulan terakhir, serangan demi serangan terus menghantui jurnalis perempuan, dari kekerasan fisik, intimidasi verbal, hingga teror digital. Situasi ini mencerminkan kemunduran serius terhadap kebebasan pers. Kasus jurnalis Tempo dan pembawa siniar Bocor Alus Politik, Francisca Christy Rosana, yang menerima ancaman mengerikan berupa pengiriman kepala babi (19/03/2025) merupakan tanda ancaman dari sisi gelap pengesahan Undang-Undang TNI yang kontroversial.
Serangan serupa juga dialami oleh jurnalis perempuan lainnya yang meliput aksi protes menentang Undang-Undang TNI di berbagai kota, seperti Bojonegoro, Malang, Surabaya, Yogyakarta, Bandung, Sukabumi, dan Jakarta.
Aksi-aksi demonstrasi yang bertujuan untuk menyuarakan penolakan terhadap kebijakan pemerintah, berujung pada tindakan represif aparat keamanan yang tidak hanya membubarkan demonstrasi dengan kekerasan, tetapi juga melibatkan pelecehan terhadap jurnalis perempuan.
Kekerasan berbasis gender terhadap jurnalis perempuan ini tidak hanya mengancam kebebasan pers, tetapi juga mengungkapkan sistem ketimpangan yang mendalam dalam masyarakat Indonesia.
Konstruksi budaya patriarki, yang masih menganggap perempuan sebagai makhluk lemah dan inferior, turut memperburuk situasi ini. Ketimpangan kekuasaan yang ada, baik di ruang publik maupun di dunia kerja jurnalistik, sering kali membuat jurnalis perempuan menjadi sasaran kekerasan dan pelecehan.
Dalam wawancara dengan perwakilan Lingkar Studi Feminis (LSF), Fazida menyatakan bahwa kekerasan terhadap jurnalis perempuan merupakan bagian dari kekerasan berbasis gender yang sistemik.
“Kami melihat kekerasan berbasis gender ini sebagai masalah yang lebih besar, bukan hanya sebagai kasus individu,” ujar Fazida saat diwawancarai online melalui WhatsApp oleh LPM Orange (03/05/2025).
Fazida juga menyoroti bagaimana kekerasan ini menunjukkan akar masalah yang lebih dalam, yakni ketimpangan struktural yang masih kuat mencengkeram dunia kerja, termasuk media.
“Ini adalah refleksi dari ketimpangan kekuasaan dalam ruang publik, termasuk ruang kerja jurnalistik. Kami mendukung korban sepenuhnya dengan advokasi berbasis gender dan mendesak adanya kebijakan pelaporan yang aman di media,” paparnya.
Fazida juga menyoroti pentingnya pendidikan dan pelatihan mengenai kesetaraan gender di tempat kerja, perlunya media dan institusi terkait memiliki kebijakan yang tidak mentolerir kekerasan berbasis gender.
“Jurnalis perempuan harus merasa aman dan dihargai dalam lingkungan kerja mereka. Tanpa kebijakan yang jelas dan mekanisme perlindungan yang kuat, kekerasan terhadap jurnalis perempuan akan terus berlanjut,” tambahnya.
Disisi lain, Acid dari LPM Lugas mengungkapkan keprihatinannya tentang maraknya kekerasan terhadap jurnalis perempuan, terutama di tengah situasi politik yang semakin militeristik.
“Serangan terhadap jurnalis di tingkat nasional saja sudah sangat mengkhawatirkan, ancaman fisik dan digital sering terjadi, apalagi di daerah atau kampus. Di tempat-tempat ini, ancaman terhadap jurnalis bisa semakin intens,” ujar Acid. saat diwawancarai online melalui WhatsApp oleh LPM Orange (12/04/2025).
Acid juga menyoroti semakin seringnya kekerasan terhadap jurnalis saat meliput aksi demo.
“Kekerasan terhadap jurnalis saat demo semakin dinormalisasi. Kalau ini dibiarkan, kebebasan pers bisa terancam. Media akan semakin takut untuk meliput isu-isu sensitif,” tambahnya.
Dari perspektif organisasi pers, Tiara dari LPM Sigma menekankan bahwa langkah konkret sangat diperlukan untuk melindungi jurnalis perempuan.
“Penting agar media memiliki SOP yang jelas terkait keamanan lapangan dan perlindungan jurnalis perempuan. Selain itu, regulasi yang lebih progresif tentang perlindungan jurnalis perlu didorong,” ujar Tiara saat diwawancarai online melalui WhatsApp oleh LPM Orange (13/04/2025).
Menurut data yang dihimpun oleh Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (AJI), pada tahun 2024, sebanyak tujuh jurnalis perempuan menjadi korban dari total 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis.
Ketua Bidang Gender AJI Indonesia, Shinta Maharani, menjelaskan bahwa jurnalis perempuan lebih rentan mengalami kekerasan karena budaya patriarki yang masih ada di Indonesia.
“Konstruksi budaya patriarki yang menganggap perempuan lemah dan rendah adalah akar dari masalah ini,” papar Shinta dilansir dari Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (AJI)
Pentingnya perlindungan bagi jurnalis perempuan semakin disorot, dengan banyak pihak menuntut agar media dan institusi terkait memperkenalkan kebijakan yang lebih jelas dan tegas.
Beberapa langkah yang dianggap krusial termasuk pelatihan tentang kesetaraan gender di media, prosedur pelaporan yang aman, dan dukungan psikososial serta hukum bagi jurnalis perempuan yang mengalami kekerasan.
Perusahaan media juga diminta untuk memiliki protokol keamanan lapangan yang jelas, serta menyediakan mekanisme perlindungan khusus bagi jurnalis perempuan yang bekerja di lapangan.
Dengan meningkatnya ancaman terhadap jurnalis perempuan, sudah saatnya pemerintah, masyarakat, dan komunitas pers mengambil langkah tegas untuk melindungi kebebasan pers dan memastikan jurnalis perempuan dapat menjalankan tugas mereka dengan aman. Kebebasan pers adalah pilar demokrasi, dan melindungi jurnalis perempuan dari kekerasan merupakan langkah fundamental dalam menjaga integritas demokrasi itu sendiri.
Penulis: Fadhlahtul Aliyah
Editor: Laras Damasaty
REFERENSI
Tempo.co. (2025. 24 Maret). Dewan Pers: Teror kepada Wartawan Mengganggu Hak Publik Mendapat Informasi. Diakses pada 6 Mei 2025, dari https://www.tempo.co/politik/dewan-pers-teror-kepada-wartawan-mengganggu-hak-publik-mendapat-informasi-1223382
Aliansi Jurnalis Independen. (2025. 30 Maret). Teror hingga Femisida, Hentikan Kekerasan tehadap Jurnalis Perempuan. Diakses pada 6 Mei 2025, dari https://mail.aji.or.id/informasi/teror-hingga-femisida-hentikan-kekerasan-tehadap-jurnalis-perempuan