Gemuruh Solidaritas Persma Pasca Jurnalis Unhas Ditangkap Saat Liput Kekerasan Seksual

Sebanyak 32 Mahasiswa Universitas Sultan Hasanuddin (Unhas), termasuk di dalamnya terdapat lima anggota Unit Kegiatan Pers Mahasiswa Catatan Kaki (UKPM Caka) Unhas ditangkap oleh aparat kepolisian usai meliput demonstrasi di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) pada Kamis, 28 November 2024 terkait pelecehan seksual yang dilakukan oleh salah satu dosen kepada mahasiswi saat sedang melakukan bimbingan skripsi. 

Peristiwa penangkapan bermula ketika sejumlah mahasiswa melakukan aksi penolakan hasil putusan Satuan Petugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) terhadap dosen pelaku pelecehan. Pada saat itu, Satgas hanya memberikan sanksi skorsing selama tiga semester terhadap pelaku. 

Namun, aksi demonstrasi tersebut berujung pada penangkapan sebanyak 32 mahasiswa, termasuk lima anggota UKPM Caka oleh pihak Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Makassar tanpa adanya surat penangkapan secara resmi. 

Insiden ini menjadi sorotan, mengingat peran pers mahasiswa dalam menjunjung kebebasan berekspresi dan mengawal berbagai isu sosial di perguruan tinggi mengalami tindakan represif dari pihak kampus dan aparat kepolisian. 

Koordinator Umum Aliansi Pers Mahasiswa Serang (APMS), Ahmad Hudori mengatakan bahwa permasalahan ini menjadi sangat penting karena regulasi, yaitu MoU antara Dewan Pers dan Kemendikbud belum efektif melindungi kerja pers mahasiswa.

“Ini jadi luka buruk, pada akhirnya perjanjian kerjasama (MoU) belum bisa mendorong kekuatan pers di ranah kebebasan pers,” ucap Dori saat diwawancarai online oleh Orange via WhatsApp (6/12/2024). 

Ketua Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Didaktika Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Arrneto Bayliss atau biasa disapa Neto juga menyebutkan bahwa jika dilihat dari kasus serupa sebelumnya, MoU yang sudah ditandatangani oleh Dewan Pers dan Kemendikbud mengenai perlindungan pers mahasiswa tidak memiliki kekuatan dengan produk atau payung hukum lain, seperti undang-undang.

“Kita tidak melulu harus mengkritisi kampusnya saja, tapi kita juga perlu mengkritisi Dewan Pers, di mana memang tidak ada upaya lebih lanjut mengenai perlindungan pers mahasiswa ini,” ujar Neto saat diwawancarai online oleh Orange via WhatsApp (5/12/2024). 

Insiden ini menunjukkan kegagalan implementasi perjanjian tersebut, yang seharusnya mendorong kebebasan berekspresi dan perlindungan bagi jurnalis kampus dalam menjalankan tugas mereka. 

Pemerintah dalam hal ini telah mengambil langkah untuk menangani kekerasan seksual di Kampus, salah satunya melalui Undang – undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Namun, implementasinya sering menghadapi masalah, terutama di tingkat Universitas. 

“Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) itu sebetulnya sudah menjadi langkah bagus, cuman kan kadang kalanya dalam tata pelaksanaannya ini seringkali menjadi suatu masalah,” ucapnya. 

Arrneto Bayliss juga menambahkan, bahwa beberapa Universitas hanya mengandalkan media sosial. Menurutnya, Universitas harus menyusun langkah sistematis seperti penambahan kurikulum mengenai kekerasan seksual. 

“Studi kasusnya coba deh lihat bagaimana jika ada satu kurikulum di dalam universitas mengenai kekerasan seksual atau pengetahuan gender. Semisal itu dipraktikan pasti memiliki perbedaan paradigma,” tambahnya. 

Arrnetto Bayliss mengharapkan pihak universitas dapat melakukan pembenahan birokrasi agar memiliki kapasitas yang lebih baik dalam memahami dan menerapkan budaya akademik. Dengan penguatan budaya ini, pelanggaran yang terjadi di lingkungan kampus dapat ditindak secara akademis, sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku, seperti Undang-Undang Pendidikan Tinggi (Udikti) atau kode etik kampus.

“benahi birokrasi supaya memiliki kapasitas dalam memahami budaya akademik sehingga di dalam budaya itu ketika ada pelanggaran penindakan sanksi itu dapat dilakukan dengan cara-cara yang akademik” ucapnya.