Fenomena LGBTQ+ (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Queer, dan lainnya) di Indonesia menjadi hal yang cukup kompleks dan kontroversial. Beberapa kelompok ragam gender dan seksualitas sudah berani secara terang-terangan menunjukkan eksistensi dirinya di depan publik, termasuk salah satunya di lingkungan kampus.
Lingkungan kampus yang lebih terbuka dan inklusif terhadap keragaman seksual dan identitas gender dianggap menjadi ruang nyaman bagi para kelompok ragam gender dan seksualitas untuk berani mengungkapkan identitas mereka secara mandiri tanpa takut diskriminasi ataupun penolakan, salah satunya di lingkungan kampus Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta). Dengan semakin terbukanya ruang untuk menyuarakan kebebasan dan keragaman di kalangan mahasiswa, beberapa dari mahasiswa di Untirta berinisial N, S, dan V mengungkapkan pengalaman mereka dalam hal LGBTQ+.
Mahasiswa S mengatakan bahwa Ia tidak terlalu terbuka menjadi bagian dari kelompok ragam gender dan seksualitas sehingga tidak membuatnya tertekan dalam hal ini. “Saya tidak terlalu merasakan adanya pressure (tekanan) dan bukan berarti saya sangat bebas menjadi seorang LGBT, tentunya saya sebagai seorang LGBT lebih memutuskan untuk tidak memberikan informasi pribadi kepada orang yang tidak terlalu saya kenal dekat, demi menjaga kenyamanan dan juga menghargai budaya yang ada di kampus,” ucap S (25/04/2024).
Mahasiswa N juga mengungkapkan perasaannya menjadi bagian dari kelompok ragam gender dan seksualitas di lingkungan kampus. “Sejauh ini yang gue rasain normal-normal aja, karena memang gue bukan yang open soal seksualitas gue, cuma beberapa temen deket gue aja yang tahu kalau gue queer dan mereka oke-oke aja,” ucap N (23/04/2024).
Berbeda dengan V, Ia mengatakan bahwa dirinya lebih terbuka menjadi sebagai kelompok ragam gender dan seksualitas sejak memasuki perkuliahan. “Gua termasuk orang yang terbuka sama LGBT ini pas waktu masuk kuliah dan gua juga bisa menyesuaikan yang dalam artian gua tau kondisi dan tempat, jadi ga seenaknya gua lakuin. Kalau untuk didukung udah pasti nggak ya, karena logika aja lah memang itu salah, tapi kalau untuk diterima, sejauh ini aman aja,” ucap V (22/04/2024).
Muslimah A. Salam, Psikolog Klinis mengatakan bahwa perilaku LGBTQ+ dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya faktor lingkungan. “Dimana dia tinggal atau dia bergaul setiap saat dapat mempengaruhi orang itu akan jadi seperti apa. Jadi, tergantung pada individu masing-masing dan dengan banyak faktor lainnya (lingkungan, orang sekitar, belief system, pengasuhan, biologis, hormonal, dan lainnya) dan perlu dilakukan atau menemukan penelitian valid dan terpercaya untuk dapat memastikannya,” ucap Muslimah (16/04/2024).
Pernyataan tersebut didukung dalam wawancara V bahwa faktor lingkungan sangat mempengaruhi adanya tindakan LGBTQ+. “Teman tuh bener-bener membawa pengaruh. Gua berada di lingkungan yang mana waktu itu gua ikut suatu komunitas yang mostly mereka semua kaya begitu dan sedeket itu, mulai dari situ gua kebawa-bawa sama mereka,” kata V (22/04/2024).
Tidak seperti V yang dipengaruhi oleh lingkungan, S mengatakan bahwa pengaruh yang membuat Ia tertarik dengan sesama jenis adalah karena karakter dan cara perlakuan seseorang kepadanya. “Tidak ada faktor lingkungan yang membuat saya tertarik kepada sesama jenis, saya melihat dari karakter dan juga bagaimana seseorang memperlakukan saya, no matter how u look, but when u have a great heart, i’ll choose u,” kata S (25/04/2024).
Kelompok LGBTQ+ sering dianggap sebagai kelompok minoritas oleh masyarakat karena identifikasi diri mereka sebagai homoseksual dan transgender. Beberapa pandangan masih sangat konservatif terkait hal tersebut sehingga menyebabkan pertentangan terhadap kelompok minoritas tersebut. Hal ini karena dianggap tidak sesuai dengan norma agama, sosial, dan budaya yang ada, terutama Indonesia memiliki nilai-nilai tradisional yang kuat, termasuk dalam hal seksualitas dan gender.
Pandangan tersebut dapat menimbulkan adanya sikap diskriminatif ataupun pelecehan terhadap kelompok LGBTQ+. Namun, tidak sedikit juga orang yang menerima keberadaan kelompok ragam gender dan seksualitas tersebut serta menghormati hak individu mereka untuk hidup sesuai orientasi seksual dan identitas gender mereka. Di lingkungan kampus Untirta sendiri, isu penolakan terhadap kelompok ragam gender dan seksualitas masih jarang terjadi, utamanya karena mereka masih tertutup dan cenderung sembunyi-sembunyi di lingkungan kampus.
Mahasiswa N dan S mengatakan bahwa mereka tidak pernah mengalami diskriminasi di lingkungan Untirta sehingga tidak ada masalah terkait kenyamanan dan keamanan di kampus. Walau demikian, N mengatakan bahwa pandangan negatif pasti selalu ada karena menyadari bahwa tindakan LGBTQ+ adalah tindakan yang salah.
“Kalau untuk pandangan negatif pasti selalu ada, terutama yang berhubungan dengan agama. Kadang tersinggung sih, hal itu yang bikin gue lebih milih untuk nggak coming out ke banyak orang karena gue sadar kalau memang apa yang gue rasain itu salah,” ucap N (23/04/2024).
Lain halnya dengan V yang pernah mengalami diskriminasi melalui candaan. Namun, Ia mengatakan bahwa masih merasa aman dengan hal tersebut.
“Gua gak merasa terdiskriminasi sih, mungkin bercanda kali ya, jadi dia mendiskriminasi tapi dengan bercanda, tapi gua gak terlalu pikirin karena apa yang gua perbuat juga salah dan gak ada pembenaran dalam diri gua. Dan orang-orang Untirta yang melihat kelompok ‘itu’ mungkin mereka tidak menormalisasikan, tapi mereka respect. Jadi selagi dia ga ngerugiin gua dan segala macem, oke-oke aja,” ucap V (22/04/2024).
Mahasiswa N, S, dan V juga memberikan pandangan terhadap segelintir orang yang masih menentang kelompok ragam gender dan seksualitas. Mereka tidak mempermasalahkan individu atau kelompok yang menentang hal tersebut karena itu merupakan kebebasan individu dalam berpendapat. Selain itu, tindakan LGBTQ+ merupakan tindakan yang salah dan bukan tindakan yang harus dinormalisasikan oleh banyak orang.
Mahasiswa S mengatakan bahwa kelompok ragam gender dan seksualitas sudah sepatutnya bisa lebih menghargai budaya dan agama yang ada. “Mereka menentang karena memang ini bukan bagian dari budaya mereka, dan sebagai seorang LGBT seharusnya kita bisa lebih menghargai budaya dan juga agama dimana kita berasal,” ucap S (25/04/2024).
V menambahkan bahwa tindakan LGBTQ+ tidak boleh dinormalisasikan, karena bagaimanapun tindakan tersebut tidak dibenarkan. “Di agama manapun ga ada yang membenarkan hal tersebut, walaupun udah banyak yang ngelanggar. Jadi kalaupun mereka membela (LGBT) dengan membawa HAM dan segala macam, itu bukan HAM, tapi menormalisasikan hal yang salah,” jelas V (22/04/2024).
Dalam hal ini, menentang tindakan LGBTQ+ merupakan hak setiap orang untuk memiliki keyakinan dan pandangannya tersendiri. Namun, penting untuk diingat bahwa kelompok ragam gender dan seksualitas juga memiliki hak untuk hidup tanpa diskriminasi dan perlakuan yang adil. Oleh karena itu, kampus perlu menciptakan lingkungan yang dapat saling memahami dan menghormati atas orientasi seksual atau identitas gender mahasiswa.
“Penting bagi lembaga pendidikan, termasuk di lingkungan kampus untuk menciptakan lingkungan yang ramah dan mendukung agar mahasiswa tidak takut terhadap diskriminasi atau pelecehan karena bagaimanapun hak-hak individu LGBT harus dihormati dan dilindungi,” tutur S (25/04/2024).
Menurut Psikolog Klinis, Muslimah A. Salam, diagnosis homoseksual sudah dihapus dari penggolongan DSM (Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental), DSM 5 tidak memasukkan kategori diagnostik apapun yang dapat diterapkan pada orang berdasarkan orientasi seksualnya dan tidak diklasifikasi sebagai gangguan intrinsik atau kelainan mental. Ia juga menambahkan bahwa dalam memandang keberadaan kelompok ragam gender dan seksualitas, terdapat beberapa perspektif, yaitu humanistic, transpersonal, psychoanalytic, behavioristic, cognitive perspective, dan sebagainya.
“Saya pribadi tersentuh pada pandangan humanistic yang memanusiakan manusia. They are human, I am human, We are human. Jadilah manusia yang memanusiakan manusia. Treat them as a human, tanpa judgement, tanpa penghakiman benar-salah, sehat-sakit, baik-buruk, tanpa menyerang, menyakiti, merendahkan makhluk lain hanya karena jebakan ego mind kita merasa diri kita lebih baik, lebih benar daripada mereka. Setiap orang tanpa melihat label apapun, bisa berbuat salah, dan bukan berarti tanpa cela, bukan berarti karena heteroseksual atau tidak homoseksual maka pasti tidak akan pernah berbuat salah dan selamanya benar,” tutur Muslimah (16/04/2024).
Muslimah juga mengungkapkan bahwa cara pandang Ia sebagai Psikolog terhadap identitas LGBTQ+ adalah netral, tanpa penghakiman dan judgement. Selain itu, Ia juga menjelaskan bahwa terdapat beberapa hal lainnya dalam humanistic approach, yaitu Unconditional positive regard (Non judgemental, acceptance, and support), Congruence (genuineness), dan Empathy (process of understanding). Pendekatan Carl Rogers membimbing untuk mendengarkan dengan simpati tanpa judgement.
Diskriminasi yang terjadi pada kelompok LGBTQ+ dapat berdampak terhadap kesehatan mental yang mengarah pada gejala depresi, cemas, kemarahan, post-traumatic stress, rasa takut, hingga tindakan bunuh diri (suicidal attempt). Muslimah A. Salam sebagai Psikolog Klinis berpendapat bahwa perilaku menyudutkan kelompok LGBTQ+ dapat memberikan dampak pada kesejahteraan mental orang lain dan Ia menjabarkan agar kita bisa lebih berfokus pada diri sendiri agar waktu yang kita gunakan tidak menyakiti orang lain.
“Saya concern pada efek dari perilaku yang kurang sadar, kurang bijak, dan memberi dampak pada kesejahteraan mental orang lain. Seandainya kita bisa terus berfokus pada mengembangkan kualitas kesadaran kita sendiri agar bisa sehat mental bagi kita dan bagi orang lain, agar kita tidak menggunakan waktu kita untuk menghakimi, menyerang, menyakiti, merendahkan, melukai orang lain dengan kata-kata yang secara tidak sadar dapat berdampak besar pada kesejahteraan mental orang lain,” jelas Muslimah (16/04/2024).
Muslimah juga menekankan pentingnya kepedulian terhadap kesehatan mental orang lain tanpa melihat latar belakang diri seseorang. Sebagai psikolog, Ia memiliki tanggung jawab profesi untuk bekerja dan meningkatkan kualitas kesejahteraan mental klien tanpa melihat label.